Sahabatku dan Motivasiku
Oleh: Yudith Auwlia – Warga
Citra 2
Begitu mobil
mewah Anya memasuki halaman gedung pertemuan, sudah banyak fansnya yang
berjubel dan berkerumun di depan pintu masuk.
Hari ini
adalah acara jumpa fans dengan Anya, Sang Penulis Novel, sekaligus promosi
novel kelimanya yang baru saja diterbitkan. Anya memang merupakan sebuah fenomenal
di kalangan pencinta novel. Novelnya yang pertama kali terbit sangat laris dan
sudah terjual sebanyak lima juta eksemplar, juga sudah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Bahkan dua dari karya novelnya sudah sempat difilmkan dan
menjadi box office. Novel-novel berikutnya pun tidak kalah larisnya. Setiap
terbitan novel baru Anya pasti ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. Sejak itu,
pundi-pundinya bertambah dan, Anya si gadis miskin, berubah menjadi Anya yang
kaya raya dan populer.
“Hai
Anya, masih ingat aku kan?” Anya menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia
mengerutkan keningnya sebentar, sambil memutar otaknya. Sosok wanita itu sangat
familiar di matanya.
“O
iya! Aku ingat. Kamu Tania kan? Sahabatku waktu SMA dulu!” Anya berteriak
kegirangan. Ia tidak menyangka akan bertemu sahabat lamanya itu.
“Iya.
Aku bersyukur kamu masih ingat aku.” Seulas senyuman menghiasi wajah Tania.
“Dari
sejak lulus SMA, baru kali ini kita ketemu lagi yah Tan. Kamu banyak berubah.”
Ujar Anya dengan antusias. Tania menggangguk.
“Oh
ya Anya, ini kartu namaku. Jangan lupa contact aku yah.”
“Sip
Tan. Ntar aku contact yah.”
***
Anya dan
Tania bersahabat sejak SMA. Anya begitu
mengagumi Tania. Tania adalah gadis yang tercantik di sekolah, dan banyak pria
yang mencoba mendekatinya. Ia juga berasal dari keluarga yang mapan. Ayahnya
adalah seorang kontraktor yang sukses. Sementara, Anya berasal dari keluarga
sederhana dan ayahnya bekerja sebagai satpam. Kekaguman Anya terhadap Tania
tidak terbatas hanya karena fisik dan rupa Tania yang menawan, tetapi juga
karena Tania pintar mengarang dan menulis. Bahkan, ia sudah memenangkan
berbagai macam perlombaan menulis. Sosok Tania, diam-diam menimbulkan motivasi
di hati Anya, bahwa suatu saat ia akan bisa menjadi seperti Tania, seorang
gadis yang dikenal oleh banyak orang dan mempunyai prestasi yang membanggakan.
Hari
ini, Anya sudah janjian dengan Tania untuk bertemu. Ketika Anya tiba di cafe
tempat mereka janjian, Tania sudah menunggu.
“Gimana
kabar kamu Tan? Aku benar-benar masih nggak percaya loh bisa ketemu kamu lagi.”
Anya mengamati Tania. Namun, ia merasa wanita yang sedang duduk di depannya ini
kelihatan lebih tua dan letih. Jauh berbeda dari penampilannya waktu SMA dulu.
“Yah,
kabarku biasa saja An. By the way, sejak novel kamu terbit pertama kali,
aku sudah baca dan langsung fans berat sama kamu. Novel kamu bagus banget.
Hebat kamu, An.” Anya tersenyum. Dalam hatinya ia merasa bangga, karena dipuji
oleh Tania, seseorang yang sangat ia kagumi.
“Ah,
biasa saja. Justru, aku yang kagum banget sama kamu Tan.” Tania tertawa
mendengar pujian Anya.
“Nggak
salah kamu An? Apanya aku sih yang buat kamu kagum? Rasanya, nggak ada dari
diriku yang bisa dibanggakan. Begitu aku lulus SMA, nggak lama Papa meninggal.
Sejak itu, keuangan keluarga mulai morat marit. Baru kuliah semester empat, aku
sudah disuruh nikah oleh Mama supaya beban keuangannya lebih ringan. Jadilah
aku married
di usia muda. Sekarang anakku sudah tiga, An.”
“O
iya?” Anya tidak menyangka kalau perjalanan hidup Tania selepas SMA seperti
itu.
“Suamiku
karyawan biasa, gajinya kecil sehingga aku pun harus bekerja untuk membantu
mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau hanya ngandelin gaji suamiku, mana cukup An.
Aku sebenarnya sudah capek, hampir setiap hari pulang malam, belum ngurusin
anak-anakku. Mana gajiku segitu-gitu aja. Jabatanku juga nggak naik-naik. Sudah
bertahun-tahun, gitu-gitu aja.”
“Loh,
kalau gitu, kenapa kamu nggak coba cari kerja tempat lain aja Tan? Siapa tahu kamu
bisa dapat yang lebih oke?”
“An,
udah sulit. Hari gini, mana ada perusahaan lain yang mau terima lulusan SMA,
sudah menikah, beranak tiga.”
“Tapi
kamu sudah coba melamar belum ?”
“Yah,
belum sih. Lagian, percuma An. Nggak bakal ada yang mau terima aku.”
“Kalau
gitu, kamu nggak coba usaha sendiri ? Atau kamu kan juga jago menulis, mengapa
nggak coba kirim tulisan kamu aja ke media Tan? Kalau kamu mau, aku bisa bantu
kamu untuk kenalin ke penerbit.”
“Percuma,
An. Aku sudah lama nggak menulis dan
juga nggak punya waktu untuk menulis. Sepanjang hari aku sudah sibuk. Memang
nasibku sudah begini An. Aku pasrah aja lah. “
Anya
gregetan mendengar cerita Tania. Anya heran, kemana sosok Tania yang dulu yang begitu bersemangat ?
“Tania,
Tuhan nggak pernah menggariskan takdir atau nasib yang buruk buat manusia. Takdir
itu ada di tangan kita, Tan. Kita bisa mengubah takdir kita, kalau memang kita
mau.”
“Tapi
aku memang merasa sudah nggak bisa apa-apa lagi. Rasanya jalanku sudah buntu
An.”
“Tan,
jangan putus asa . Aku bisa berhasil seperti ini juga nggak instan. Penuh
perjuangan. Terkadang, aku juga sampai pada titik putus asa. Semua tulisanku
ditolak dimana-mana. Namun, aku punya prinsip, tidak ada gunung yang terlalu
sulit untuk didaki karena ada Tuhan yang berjalan bersamaku. Aku juga percaya,
ada bagian yang harus kulakukan dan ada bagian yang akan Tuhan lakukan. Untuk
itu, aku terus berdoa, berlatih dan nggak bosan-bosannya menulis hingga aku
bisa seperti sekarang ini. Jadi, kamu jangan menyerah dong Tan. Kamu harus
bangkit lagi. Kamu harus percaya kalau kamu punya masa depan yang baik, Tan.”
“Terima
kasih yah An. Kamu baik banget. Aku akan coba renungi kata-katamu itu. Udah
sore An, aku harus pulang dulu. Kapan-kapan, kita ketemuan lagi yah.”
“Oke,
sampai ketemu lagi yah Tan.”
Anya
memandangi punggung sahabatnya yang berjalan makin jauh meninggalkannya. Tania,
seseorang yang begitu ia kagumi, namun menjadi seseorang yang begitu rapuh dan
tidak berdaya. Anya bertekad akan terus menyemangati Tania, karena Ia adalah sahabatku dan motivasiku.”
(Dimuat di majalah Media Kawasan Juli 2012)