Pages

Monday, September 24, 2012

Cerpen (Sahabatku dan Motivasiku)


Sahabatku dan Motivasiku
Oleh: Yudith Auwlia – Warga Citra 2

Begitu mobil mewah Anya memasuki halaman gedung pertemuan, sudah banyak fansnya yang berjubel dan berkerumun di depan pintu masuk.
Hari ini adalah acara jumpa fans dengan Anya, Sang Penulis Novel, sekaligus promosi novel kelimanya yang baru saja diterbitkan. Anya memang merupakan sebuah fenomenal di kalangan pencinta novel. Novelnya yang pertama kali terbit sangat laris dan sudah terjual sebanyak lima juta eksemplar, juga sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bahkan dua dari karya novelnya sudah sempat difilmkan dan menjadi box office. Novel-novel berikutnya pun tidak kalah larisnya. Setiap terbitan novel baru Anya pasti ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. Sejak itu, pundi-pundinya bertambah dan, Anya si gadis miskin, berubah menjadi Anya yang kaya raya dan populer.

        “Hai Anya, masih ingat aku kan?” Anya menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Ia mengerutkan keningnya sebentar, sambil memutar otaknya. Sosok wanita itu sangat familiar di matanya.
        “O iya! Aku ingat. Kamu Tania kan? Sahabatku waktu SMA dulu!” Anya berteriak kegirangan. Ia tidak menyangka akan bertemu sahabat lamanya itu.
        “Iya. Aku bersyukur kamu masih ingat aku.” Seulas senyuman menghiasi wajah Tania.
        “Dari sejak lulus SMA, baru kali ini kita ketemu lagi yah Tan. Kamu banyak berubah.” Ujar Anya dengan antusias. Tania menggangguk.
        “Oh ya Anya, ini kartu namaku. Jangan lupa contact aku yah.”
        “Sip Tan. Ntar aku contact yah.”   

***

Anya dan Tania  bersahabat sejak SMA. Anya begitu mengagumi Tania. Tania adalah gadis yang tercantik di sekolah, dan banyak pria yang mencoba mendekatinya. Ia juga berasal dari keluarga yang mapan. Ayahnya adalah seorang kontraktor yang sukses. Sementara, Anya berasal dari keluarga sederhana dan ayahnya bekerja sebagai satpam. Kekaguman Anya terhadap Tania tidak terbatas hanya karena fisik dan rupa Tania yang menawan, tetapi juga karena Tania pintar mengarang dan menulis. Bahkan, ia sudah memenangkan berbagai macam perlombaan menulis. Sosok Tania, diam-diam menimbulkan motivasi di hati Anya, bahwa suatu saat ia akan bisa menjadi seperti Tania, seorang gadis yang dikenal oleh banyak orang dan mempunyai prestasi yang membanggakan.  
        Hari ini, Anya sudah janjian dengan Tania untuk bertemu. Ketika Anya tiba di cafe tempat mereka janjian, Tania sudah menunggu.
        “Gimana kabar kamu Tan? Aku benar-benar masih nggak percaya loh bisa ketemu kamu lagi.” Anya mengamati Tania. Namun, ia merasa wanita yang sedang duduk di depannya ini kelihatan lebih tua dan letih. Jauh berbeda dari penampilannya waktu SMA dulu.
        “Yah, kabarku biasa saja An. By the way, sejak novel kamu terbit pertama kali, aku sudah baca dan langsung fans berat sama kamu. Novel kamu bagus banget. Hebat kamu, An.” Anya tersenyum. Dalam hatinya ia merasa bangga, karena dipuji oleh Tania, seseorang yang sangat ia kagumi.
        “Ah, biasa saja. Justru, aku yang kagum banget sama kamu Tan.” Tania tertawa mendengar pujian Anya.
        “Nggak salah kamu An? Apanya aku sih yang buat kamu kagum? Rasanya, nggak ada dari diriku yang bisa dibanggakan. Begitu aku lulus SMA, nggak lama Papa meninggal. Sejak itu, keuangan keluarga mulai morat marit. Baru kuliah semester empat, aku sudah disuruh nikah oleh Mama supaya beban keuangannya lebih ringan. Jadilah aku married di usia muda. Sekarang anakku sudah tiga, An.”
        “O iya?” Anya tidak menyangka kalau perjalanan hidup Tania selepas SMA seperti itu.
        “Suamiku karyawan biasa, gajinya kecil sehingga aku pun harus bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau hanya ngandelin gaji suamiku, mana cukup An. Aku sebenarnya sudah capek, hampir setiap hari pulang malam, belum ngurusin anak-anakku. Mana gajiku segitu-gitu aja. Jabatanku juga nggak naik-naik. Sudah bertahun-tahun, gitu-gitu aja.”
        “Loh, kalau gitu, kenapa kamu nggak coba cari kerja tempat lain aja Tan? Siapa tahu kamu bisa dapat yang lebih oke?”
        “An, udah sulit. Hari gini, mana ada perusahaan lain yang mau terima lulusan SMA, sudah menikah, beranak tiga.”
        “Tapi kamu sudah coba melamar belum ?”
        “Yah, belum sih. Lagian, percuma An. Nggak bakal ada yang mau terima aku.”
        “Kalau gitu, kamu nggak coba usaha sendiri ? Atau kamu kan juga jago menulis, mengapa nggak coba kirim tulisan kamu aja ke media Tan? Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu untuk kenalin ke penerbit.”
        “Percuma, An. Aku sudah lama nggak menulis dan  juga nggak punya waktu untuk menulis. Sepanjang hari aku sudah sibuk. Memang nasibku sudah begini An. Aku pasrah aja lah. “
        Anya gregetan mendengar cerita Tania. Anya heran, kemana sosok Tania yang  dulu yang begitu bersemangat ?
        “Tania, Tuhan nggak pernah menggariskan takdir atau nasib yang buruk buat manusia. Takdir itu ada di tangan kita, Tan. Kita bisa mengubah takdir kita, kalau memang kita mau.”
        “Tapi aku memang merasa sudah nggak bisa apa-apa lagi. Rasanya jalanku sudah buntu An.”
        “Tan, jangan putus asa . Aku bisa berhasil seperti ini juga nggak instan. Penuh perjuangan. Terkadang, aku juga sampai pada titik putus asa. Semua tulisanku ditolak dimana-mana. Namun, aku punya prinsip, tidak ada gunung yang terlalu sulit untuk didaki karena ada Tuhan yang berjalan bersamaku. Aku juga percaya, ada bagian yang harus kulakukan dan ada bagian yang akan Tuhan lakukan. Untuk itu, aku terus berdoa, berlatih dan nggak bosan-bosannya menulis hingga aku bisa seperti sekarang ini. Jadi, kamu jangan menyerah dong Tan. Kamu harus bangkit lagi. Kamu harus percaya kalau kamu punya masa depan yang baik, Tan.”
        “Terima kasih yah An. Kamu baik banget. Aku akan coba renungi kata-katamu itu. Udah sore An, aku harus pulang dulu. Kapan-kapan, kita ketemuan lagi yah.”
        “Oke, sampai ketemu lagi yah Tan.”

        Anya memandangi punggung sahabatnya yang berjalan makin jauh meninggalkannya. Tania, seseorang yang begitu ia kagumi, namun menjadi seseorang yang begitu rapuh dan tidak berdaya. Anya bertekad akan terus menyemangati Tania, karena Ia adalah sahabatku dan motivasiku.”

(Dimuat di majalah Media Kawasan Juli 2012)